HARI MERDEKA YANG INDAH

Saturday, August 18, 2007

Hari merdeka lagi, hari berkejaran dengan jalan keluar lagi. Di setiap jalan, gang, orang sibuk memasang rambu atau penutup jalan. "Maaf, ada peringatan hari merdeka. Ada lomba makan krupuk dan balap karung. Malam nanti ada syukuran, tumpengan. Anda sebaiknya lewat jalan lain," kata mereka. Ada yang disampaikan dengan cara yang laur biasa ramah, ada pula yang super arogan.

Seolah memaknai kemerdekaan sebagai alat legitimasi. Bahwa kemerdekaan adalah alasan untuk menutup jalan umum, bahwa lomba balap karung merupakan jalan paling bijak, lebih bijak ketimbang kesibukan pion dan mesin kapitalisme, pekerja, buruh, atau siapa saja.

Tidak, tidak masalah. Tak perlu dipersoalkan. Toh ini hanya ritual tahunan. Karena bagi sebagian masyarakat, merayakan hari merdeka hanya sebatas panjat pinang, lomba balap karung, atau menggelar tikar di tengah jalan. Mau berkontemplasi? Busyet. Ada-ada saja. "Wong para pemimpin saja tak mengajarkan itu," tukas satu dari mereka.

Yang ia maksud, sudah barang lumrah, ketika ada upacara penting negara atau pemerintah daerah, beberapa ruas jalan umum di Jakarta, Surabaya, atau daerah lain, mendadak jadi kawasan haram buat melenggang. "Ada upacara. Nanti bapak presiden lewat sini," kata mereka yang sibuk berjaga. Atau, "Maaf, kawasan steril. Anda boleh cari jalan lain saja".

Jadi ingat saat ada saudara di rawat di sebuah rumah sakit terkemuka di Surabaya. Kebetulan, Yang Terhormat Bapak Wakil Presiden datang menjenguk tokoh pesantren yang kebetulan masih saudara dengan mantan presiden, yang juga tokoh pesantren. Saya tidak boleh masuk rumah sakit, dihadang pria kekar berseragam.

"Tidak boleh masuk!" hardiknya.
Tapi kakak saya ada di dalam rumah sakit. Tidak ada teman.

"Ada wakil presiden, tidak boleh masuk!"
Lha yang menemani kakak saya siapa? Kalau sendirian, dia stress, tensinya tidak boleh naik. Kalau naik, sakit kepala, malah memperburuk kesehatannya.

"Sudah saya bilang, tidak boleh masuk. Mbok paham lah. Ini orang penting"
Lalu kalau ada apa-apa dengan kakak saya gimana?

"Mas, di dalam ada bapak wakil presiden. Gimana sih?"
Saya diam, hanya bisa memandang makhluk paling menyebalkan ini dengan cara sedemonstratif mungkin. Bagi saya, ini pasti bisa membuat dia tahu, bahwa saya sangat marah.

Tak lama berselang, ada pria berseragam lainnya. Dan tawapun pecah. Mereka bercanda senang, seolah tak ada persoalan. Dan hari merdeka, tetap berjalan seperti biasa. Ada merah putih, baik yang berbentuk bendera atau umbul-umbul, spanduk sponsor yang sarat dengan tagline nasionalisme dan obat greng, dan jalan-jalan yang mendadak jadi ajang balap karung. Ya, hari merdeka yang indah.

4 komentar:

Anonymous said...

Wah, biasa saja Boss, ndak usah marah-marah. Kan situ sudah sering merawat "Presiden Kecil", masak lupa...

aMeir said...

-perlakuannya sama saja, walau di mana-mana bumi dunia. begitulah resam adatnya orang-orang yang 'membodek' bak pepatah melayu, lebihnya sudu dari kuah. hiasilah diri dengan keimanan, nescaya kamu menjadi antara orang-orang yang tawaduk yakni orang-orang yang sering merendah diri akan keesaan tuhan.

gayour said...

besok MALAYSIA akan menyambut ulangtahun kemerdekaan yang ke 50 dari British! syukur akhamdulillah!

Makna kemerdekaan di Indonesia memang belum berubah ya mas: "mengisi kemerdekaan dengan berkarya". Tapi sayang, berkaryanya sampai sekarang belum berubah. Masih tetap: Lomba, tasyakuran, hias kampung, dll. Tapi menutup jalan umum apa termasuk mengisi kemerdekaan ya? Hehehe...