Media dan Kekuasaan Kapital (2)

Thursday, March 01, 2007

Setelah perseteruan panjangnya dengan Tomy Winata, Pimpinan Redaksi Majalah TEMPO di vonis satu tahun penjara. Vonis yang sama kerap dijatuhkan pada bandar narkoba, perampok, atau maling tape recorder. Kalaupun ada perbedaan, dalih pencemaran nama baik, seperti yang disebut KUHP, bak mantera sakti yang bisa menjungkirbalikkan harapan ; bahwa UU Pokok Pers telah berdiri di pondasi yang perkasa.

Hal yang cukup mengejutkan muncul sesudahnya. Kali ini, kepedihan yang dirasa TEMPO tak disertai gumam duka seperti yang bisa ditemui saat TEMPO dibredel rezim orde baru pada tahun 1994. Bahkan waktu itu, WS Rendra sempat jadi motor gerakan kebebasan pers yang meluncur sebagai respon tak puas atas pembredelan. Mahasiswa dan aktifis pro-demokrasi berteriak lantang ; janganlah pers kita dibungkam.

Beberapa tokoh elite politik -lepas dari prasangka bahwa ini kemudian jadi komoditi politik dan popularitas-ikut turun mengacungkan tangan. Goenawan Mohammad tak sendirian. TEMPO tak sendirian. Pun Tabloid Detik, atau EDITOR.


Waktu bergulir cepat, setelah ada perubahan di pusat kekeuasaan, TEMPO lahir kembali. Dengan gaya dan performa sedikit beda, majalah berita mingguan ini melenggang dengan semangat yang tak berbeda dengan masa sebelum pembredelan 1994. Issue awal yang digeber di cover story, liputan khusus tentang kasus perkosaan etnis Tionghoa yang mewarnai kerusuhan pada tahun 1998. Saya ingat betul, saat itu TEMPO sampai dijual dalam bentuk foto kopi, saking dicarinya.

Tahun berganti, TEMPO mendadak berhadapan dengan Tomy Winata, pengusaha. Lewat pergulatan proses hukum yang ketat, TEMPO dinyatakan bersalah. PN Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman satu tahun penjara terhadap Bambang Harymurti, Sang Pemimpin Redaksi, karena dinyatakan terbukti menyiarkan berita bohong yang dengan sengaja menimbulkan keonaran dalam masyarakat, pencemaran nama baik dan tindak pidana fitnah secara bersama-sama terhadap Tomy Winata.

Di sisi lain, Majelis hakim melepas terdakwa Ahmad Taufik dan Teuku Iskandar Ali yang dinyatakan bersalah dalam kasus yang sama, karena mereka dinilai bukan pihak yang harus bertanggungjawab. Di frontpage TempoInteraktif.com, setelah penjelasan ini, ada catatan di akhir ; Keputusan yang dinilai sebagai penanda kembalinya era pemberangusan pers, era perampasan kebebasan pers untuk memenuhi hak informasi masyarakat.

Ya, era keterbukaan yang belakangan membangunkan semangat membangun peradaban yang lebih sehat ternyata berimbas perilaku kontra produktif. Walau diakui, bagi sebagian pihak, kenyataan ini justru membanggakan. Karena pada kenyataannya, pers memang tidak boleh sekedar bebas, tapi bebas dan bertanggung jawab. Pers kita tak boleh berkembang jadi pers Inggris yang konon bisa bebas berbuat, menelanjangi public figure, selebritis bahkan pejabat. Pers kita, harus bisa mendiami porsi minim di ceruk pilar ke empat ; setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif.


Saya jadi ingat pembicaraan dengan seorang teman, wartawan di Jakarta. Katanya, "Ini mungkin buah dari perjuangan kebebasan pers. Selain pers jadi bebas mengontrol, masyarakat juga bisa bebas mengontrol".

Kalaupun ada satu kondisi yang mestinya harus digarisbawahi, bagaimana dengan mekanisme yang wajib dipatuhi? UU Pokok Pers? Atau malah KUHP?
"Jika dokter, punya kode etik yang ditaati. Ketika ada pelanggaran profesi, maka 'pengadilan' dewan etik yang akan menindak," kata teman tadi. Masalahnya, ikatan dokter yang namanya IDI, terbilang solid dan mapan. Bagaimana dengan wartawan? Bisakah AJI, PWI, dan lain-lain, melebur dalam sebuah institusi yang punya satu kode etik wartawan, dan keluasan hati untuk menghormati UU Pokok Pers?

Jika ini terjadi, maka pers kita mungkin malah bergerak mundur, sama halnya dengan saat pers kenal PWI sebagai satu-satunya organisasi profesi yang legal, menurut pemerintah. Jadi harus bagaimana?


*) Tulisan lama, awalnya dengan judul Wartawan di Ujung Tanduk

3 komentar:

Iman D. Nugroho said...

Kang Djo,..

Seirama dengan IDI, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) 2006 disepakati oleh 29 organisasi profesi. Artinya, kalau ada pelanggaran, ke-29 organisasi itu juga akan sepakat untuk "memberikan" kecaman.

Soal mekanisme penyelesaian, ada mekanisme untuk menyelesaikan pelanggaran kode etik wartawan. Mungkin ada baiknya melirik UU Pers Pasal 15 tentang Dewan Pers. Lihat poin ke 2 tentang fungsi Dewan Pers. Bunyinya, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik dan memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Artinya, dewan pers yang akan menjadi "hakim" dalam "pengadilan" pelanggaran kode etik itu.

salam
iman

jagung manis said...

Idealnya demikian. Sayapun menghormati mekanisme itu. Tapi apa hal ini dipahami semua insan media? Apalagi penikmat dan orang-orang yang punya kepentingan di media? Tapi bener, kalau yg Iman sampaikan itu bisa berjalan dengan baik, tentu akan sangat menyejukkan.

Anonymous said...

kalau ada pelanggaran, ke-29 organisasi itu juga akan sepakat untuk "memberikan" kecaman. Kecaman doang? Gampang dong....