Satu hal yang paling menjengkelkan dari 'terjun di industri media' adalah belajar jadi munafik. Belajar jadi orang yang di luar berkoar soal kontrol sosial dan independensi, di dalam hanya bilang, "Oh, ini bayar. Ya udah, paragraf ini bisa saya pangkas".
Ada kenalan, yang kebetulan punya jabatan lumayan di sebuah kelompok media di Surabaya. Dari tampangnya, sesungguhnya, sudah kentara kalau ia sangat menyebalkan. Tapi sebagai muslim yang baik, ehm, saya mesti bersikap manis di depannya.
Dia bilang, sedang punya obsesi bikin majalah. Dalih yang keluar di awal adalah, "Ini pasti laku". Nggak ada yang salah. Tapi apa tidak ada pembicaraan lain? Mengapa tidak bicara, bahwa ini akan jadi titik awal gerakan penyadaran, pemberdayaan masyarakat, demokratisasi, dan sejenisnya?
Kemudian saya jadi ingat perdebatan seru belasan tahun silam, di bangku kayu bawah pohon di Stikosa AWS. "Sebenarnya, mereka yang masih nekad terjun di industri media adalah orang yang bego. Tidak hanya mereka yang jadi pekerja, tapi juga owner, direktur, bahkan investor"
Lho?
"Karena mereka yang terjun di dunia abu-abu ini, mestinya sejak awal harus siap digilas kenyataan pahit. Ini dunia petarung, bukan pemalas yang cuma jago bermimpi. Ini dunia para jurnalis yang semua indra cipta dan rasanya selalu terbuka, bukan tuli dan buta"
Tentu bukan dalam arti sebenarnya.
"Jadi, lupakan kerja di media massa, apalagi mimpi memiliki media massa sendiri"
Hahahahaha
*)buat zurqoni, naim, becki, abu dardak
ARCHIVES
Naifitas Mimpi
Wednesday, January 10, 2007
Diposting oleh jagung manis di 3:21 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment