Karena Surga Menunggu di Kakinya

Thursday, October 19, 2006

Ada teman cerita, "Lebaran ini, saya tidak bisa pulang kampung. Sedih banget. Aku gak bisa ketemu ayah ibuku, tak bisa ketemu kakak dan adik-adikku, dan ini yang gak seru, aku nggak bisa ketemu dengan tetanggaku, my girl next door, yang luar biasa seksi..."

Anggap saja, nama teman ini Pam. Teman lama, teman saat suka balapan motor di sebuah jalan utama kota Bojonegoro (hahaha). Well, saya tahu siapa yang ia maksud. Namanya Kia, anggap saja gitu. Ia jadi pujaan banyak pria, ramah, eeng.. seksi, dan punya bapak tentara (kasihan ya).

Nah, Pam, teman ini, sejak dulu naksir berat. Sayang, Kia masih punya jalur kuat buat mempertahankan diri dari godaan setan yang terkutuk. Jadi, ia masih selamat dari rengkuhan pendekar berwatak jahat.

"Tapi kawan, sebenarnya bukan itu yang membuat saya ingin pulang. Aku pingin mencium kaki ibuku," kata Pam. Lalu ia bercerita, kapan hari, ia mendengar kabar soal ibunya yang sempat mengeluh. Bahwa anak-anaknya, setelah jadi orang di kota, mulai enggan sambang ke kampung halaman. Mau mudik aja ada alasan masih tugas lah, tidak boleh boss-lah.

"Seperti ini kan repot. Masa aku harus menjelaskan bahwa aku sebagai karywan, berarti sudah menyerahkan nyawaku ke perusahaan? Masa aku mesti menjelaskan konsep dasar kapitalisme, masa harus bicara soal Marx?" kata Pam.

Aku langsung sedih. Baukan karena apa. Karena tiba-tiba saja, aku jadi ingat ibuku, ingat surga di kakinya.