Mimpi jadi Superman

Thursday, May 04, 2006

Memasuki 100 meter pertama, Roy harus berhadapan dengan lyn bemo yang berhenti mendadak. Tanpa aba-aba yang cukup untuk berbagi waktu dengan akal sehat, sopir lyn itu langsung bergerak ke kiri untuk menjemput penumpang.Roy yang agak buru-buru langsung gelagepan. Sedikit memutar stir ke kiri, sedikit memutar ke kanan, thanks God. Tak ada insiden kecil yang biasanya jadi besar. Membuka kaca mobil, Roy melontarkan makian ke sopir lyn.

"Hoe! Dalane Mbah-mu (jalan punya nenek kamu, red) ya?" teriak Roy beringas. Mendengar makian ini, Si Sopir beranjak merah padam. "Terus, ate laopo (mau apa, red)?" teriaknya, membuat kaget sejumlah pengendara jalan yang mulai memadati jalan kota.Demi melihat tampang sopir lyn yang ekstra sangar, nyali Roy berubah ciut. Terbayang lengannya yang hanya berukuran setengah lengan Si Sopir lyn. Ya sudah, Roy memilih jurus langkah seribu sebagai solusi.

Tapi entah mengapa, sepanjang jalan, ia mulai digerogoti penyakit baru ; ingin jadi Superman! Lebih-lebih saat memasuki 100 meter ke dua. AC mobilnya mendadak mati. Udara panas merayap perlahan tapi pasti. Roy membuka kaca mobilnya lagi. Sembari melirik ke arah spion, jaga-jaga kalau sopir lyn yang mirip Hulk itu diam-diam sudah ada di belakang dengan golok terhunus. Ahh, segar, rasa Roy.

Mendadak, ia dikejutkan dua corong knalpot, milik sebuah motor dua tak dan truk di depan mobilnya. Walau ada perbedaan volume, bentuk dan filosofi kendaraan, keduanya memiliki kesamaan yang luar biasa tak bersahabat. "Asap sialan!" maki Roy.

Ya, begitu kaca mobil terbuka, ia terpaksa menghirup asap knalpot yang luar biasa pekat. Dari motor dua tak dan truk yang sepertinya tak bersahabat dengan bengkel itu, asap mengepul bak pasukan berani mati yang bergerak liar. Meluk-liuk, menjelajah setiap jengkal udara, melibas oksigen, menebar racun dan tertawa kala melihat Roy dan beberapa pengguna jalan yang megap-megap.

Roy tancap gas, tak perduli lampu merah. Pikirnya, sebelum mati konyol gara-gara gas beracun yang bisa jadi mematikan, ia lebih baik berhadapan dengan polisi lalu lintas yang… "Polisi?" sergah Roy terbelalak.
"Selamat pagi, pak. Bisa lihat SIM dan STNK?" tanya petugas yang sempat melambaikan tangan dan kini sudah berdiri di tepi mobil Roy. Lengkap dengan seragam ketat dan kaca mata hitam.

Roy ogah-ogahan menyerahkan SIM dan STNK. Kemudian, untuk beberapa menit, ia harus mendengar nasehat tentang tata tertib berlalu lintas, undang-undang, kedisiplinan, bahkan moralitas kota metropolitan. Roy habis-habisan menahan diri. "Tapi kalau kita selesaikan di sini, ya bisa. Tidak perlu tilang, daripada bapak susuah payah ke pengadilan," kata petugas masih dengan mimik wajah yang luar biasa sopan. Roy memilih alternatif damai. Ia merogoh dompet dan *** (maaf, kalimat-kalimat berikutnya disensor. Karena menyangkut nama baik institusi, red).

Roy kembali melaju. Baju biru mudanya yang tadi nampak licin mengkilat sudah basah oleh keringat dan kemarahan. Sungguh pagi yang indah. Lalu ia berbelok ke sebuah gang di kawasan Ngagel, berhenti di rumah merah jambu berpagar besi tempa.

"Hai," sapa Rara, empunya rumah dengan suara yang memang empuk. Roy kembali cerah. "Nggak enak di rumah. Nggak ada kamu," kata Roy.

Pasangan muda ini, sebetulnya suami istri. Hanya saja, rumah mereka perlu sedikit renovasi. Sayangnya, Rara tidak betah kena debu, aroma bahan bangunan, suara bising, dan segenap atribut yang biasa muncul dalam proses pembangunan rumah. Solusinya, Rara tidur di rumah ibunya, dan untuk sementara, Roy harus tidur sendirian di rumah. "Kalau aku nggak di rumah, siapa yang jaga televisi, DVD, komputer, mesin cuci, kulkas, jam dinding atau patung kucing dari emas kesayanganku," kata Roy saat itu.

Jadi, ini hari ke 14, dimana ia harus menjalani rutinitas semacam ini. Bangun pagi, menjemput istrinya, lalu berangkat ke kantor bareng. Sampai di 100 meter ke lima, Rara nyeletuk, "Wah. Laporan buat pertemuan nanti siang ketinggalan, nih".Atas nama cinta, Roy menepis rasa jengkelnya, "Oke sayang". Mobil berbelok, kembali ke gang kecil di kawasan Ngagel. Untuk menyelesaikan tahap ini, Roy harus melewati waktu 15 menit. Yang panas, pengap, dan menegangkan (ia harus berhenti mendadak gara-gara lyn setidaknya tujuh kali, red).
"Maaf, ya. Nih, laporannya. Yuk berangkat," kata Rara. Roy menarik nafas lega dan mulai menjalani perannya sebagai suami, sopir dan warga negara yang baik. Ia menggerakkan mobil ke gerbang jalan raya, dengan cara yang sopan dan menawan.

Tapi, "Aduh! Jalan udah macet nih," kata Roy sambil melihat mobil, sepeda motor dan becak yang berjejal di jalana spal. Rara yang merasa jadi sumber masalah keterlambatan merasa tidak enak hati. Sembari memegang pundak suaminya, ia berbisik, "Kita lewat jalan alternatif di belakang aja. Sedikit jauh, tapi sepi. Ayuk, putar mobilnya".Roy setengah putus asa bak kerbau dicocok hidung. Tak perduli apakah ini benar atau salah, ia benar-benar memutar mobil dan bergerak ke arah yang berlawanan.

Oke, sedikit lancar. Aman. Tak ada aroma knalpot, atau panas matahari yang dipantulkan kaca mobil atau gedung. Aromanya juga aroma sedap. Sedap?

"Maaf mas. Mundur aja. Ada orang punya hajat di sana. Mending mundur aja," cegat seorang laki-laki dengan nada yang luar biasa sopan. Roy diam tak bergerak. Pun Rara yang makin tidak enak hati. Alunan musik dangdut terdengar di salah satu sudut jalan. Roy masih diam. Rara menggerak-gerakkan lengan Roy yang menancap di kemudi. "Mas, mas. Kenapa? Kamu nggak apa-apa, kan?"

Roy diam seribu bahasa. Pikirannya menggumpal dilapisi selaput tebal. Wacana filsafat, matematika, ilmu pasti, sosial, dan lain-lain, dibiarkan membusuk dan digerogoti sejuta piranha. Telinganya tak mampu mendengar jeritan Rara yang panik, dan suara-suara warga yang datang, "Nyebut, Mas. Nyebut".

Roy masih diam, dengan mata menerawang jauh. Sangat jauh. Pikirannya melayang. Membawa akal sehatnya yang dijejali mimpi. Mimpi menjadi Superman. Yang bisa terbang, tak takut asap knalpot, kemacetan, perilaku sopir yang ngawur, dan lain-lain. -kontemplasi majalah mossaik

0 komentar: