Mencari Makna di balik Kartun

Friday, February 17, 2006

Mungkin ini sifat khas masyarakat kita ya. Salah kaprah. Setahuku, setelah berhaha-hihi dengan kawan-kawan "gila" saya, pada awalnya kartun itu gambar lelucon pada masa kegelapan di Eropa sana. Isinya tentang kondisi kehidupan saat itu yang tujuan sebenarnya mengkritisi penguasa yang semena-mena dan otoriter. Asal kata 'cartone' artinya kertas besar atau bisa juga gambar-gambar besar, lukisan, atau tapestry.

Nah kartun itu ada kartun gag dan kartun opini. Gambar lucu yang menghibur tanpa ada muatan kritik namanya kartun gag, kartun murni. Kartun gag hanya sekedar sebagai gambar lucu, konyol, atau pokoknya humor dan tidak membahas suatu permasalahan yang sedang terjadi. Ya cuma kartun humor lah, hanya untuk bikin orang ketawa. Kartun opini itu menyampaikan ide bermuatan kritik namun tetap dengan nuansa humor entah itu tentang masalah sosial, ekonomi dll. Tapi itu juga tak selalu jenaka sih tapi justru bisa memunculkan situasi sebaliknya.

Berbeda lagi dengan yang disebut udin sebagai karikatur. karikatur bagian dari kartun. Karikatur itu sudah tentu kartun. Tapi kartun justru belum tentu karikatur. Kartun ya kartun. Karikatur ya karikatur, kariikatur ya kartun juga. Seorang karikaturis sudah tentu kartunis, tapi kartunis belum tentu karikaturis. hahaha... bingung ya.. Awalnya karikatur adalah gambar wajah orang (biasanya para tokoh) yang dilebih-lebihkan atau dengan pendistorsian bentuk muka atau bagian-bagian yang lain untuk memunculkan atau menonjolkan karakter atau sifat khas dari seseorang.

Karikatur itu tetap menampilkan ciri khas atau identik dengan tokoh yang dikarikaturkan walaupun bentuknya sudah terdeformasi.Tentu bukan tanpa maksud karikaturis melakukannya. Upaya itu juga untuk mengkritisi si tokoh atas ketidakadilan yang diperbuatnya. Itu dulu. Sekarang hal melebih-lebihkan itu tak melulu berisi kritik atas ketidakadilan si tokoh. Jadi entah itu kritik atau bukan ada di karikatur secara eksplisit.

Nah jadi berbeda antara karikatur dan kartun. Saya menyebut karya hendro (hdono, hkasino...? hehehe) sebagai kartun.Menurut saya, kesimpulan pertanyaan tentang meaning kartun bagi Ikram itu justru terbangun dari bagian-bagian itu. Tapi yang dominan adalah dari caption itu. Tak mungkin kesimpulan itu muncul kalau bukan dari komponen-komponen itu. Bahkan kalau burung itu benar2 berak di atas kiai dengan tanpa caption, akan muncul arti lain. Tapi masalahnya apa benar gara-gara demo masjid jadi sepi? Contoh saja gambar kartun ada di sehelai kertas. Gambarnya seperti kartun hendro itu tapi tanpa caption. Ternyata burung itu digambar jadi benar-benar mengeluarkan berak berbentuk bara api di atas kiai. Terus apa benar bahwa burung itu benar-benar berak di atas kiai? Mungkin saja. Tapi apa benarkah burung itu berak dan berak itu berbentuk bara api lalu mengenai si kiai? Terus si kiai terbakarkah? Tentu tak begitu maksudnya. Ada makna tersirat. Entah itu kritik atau apa.Kartun itu humor.

Nah ada beberapa hal agar kartun itu dapat membuat orang meringis, kesan getir, sedih, dan situasi lainnya. Hanya dengan goresan-goresan saja gambar itu mengundang tawa, membuat dahi berkerut, bisa juga membuat orang marah. Dengan visualisai yang hanya memutarbalikkan logika kartun itu semakin lucu. Namun tidak semua corat-coret menimbulkan efek lucu ataupun lainnya. Untuk mendukung bahwa kartun itu tambah semakin lucu, sedih, getir, komunikatif ya dengan cara-cara seperti pemutarbalikkan logika itu. Salah satu unsur pembentuknya ya dengan penambahan caption itu. Tapi bukan berarti kartun Hendro tidak lucu tanpa caption itu loh. Namun kelucuan atau situasi itu tak semua orang bisa menemukannya.Nah coba saja kalau tak ada caption-nya, bisa-bisa hanya pura-pura tertawa, pura-pura sedih atau mantuk-mantuk padahal nggak ngerti di mana lucunya dan apa maksudnya. Dan mungkin Ikram juga tak pernah menanyakan apa meaning kartun itu kalau tanpa caption? Saya tak tahu apakah pertanyaan itu muncul karena cuma membaca caption itu atau hanya karena sekedar melihat gambarnya. Itu apresiasi Ikram atas apresiasi Hendro terhadap suatu permasalahan ke dalam kartun.Tentu saja apresiasi muncul dari para pembacanya.

Dengan demikian pembaca bisa cari-cari sendiri. Nah larangan Udin bahwa lain kali Hendro nggak usah ngasih caption atau keterangan pada kartun itu, mungkin juga apresiasi Udin sebagai pembaca atas kartun itu. Menurut saya ya sesukanya Hendro kalau mau ngasih caption atau tidak apakah itu harus atau tidak. Justru bila caption itu dapat membuat ikram, Udin atau yang lainnya jadi ngeh, jadi bisa ngomong "Apa benar gara-gara itu kok jadi begitu?" Mengapa tidak. Saya memandang hendro (sebagai seorang pengarang) belum menjelaskan makna apa yang ada di kartunnya kecuali lewat kartun itu sendiri. dan itu cukup sampai di situ bahwa ia tak menjelaskannya. Itu pun kalau harus menganut Barthes.Silahkan bung hendro saja yang cerita lebih lanjut, yang ahlinya.

Toni Malakian