Membangun Legenda Kartun Lokal

Friday, February 17, 2006

Perkembangan dunia kartun dalam industri media, perlahan tapi pasti, memang berkembang di arah yang cukup signifikan. Meski jika dibanding pada masa orde baru dengan sekarang, kartun kita mulai sedikitr redup. Saya ingat betul, di masa pemerintahan Soeharto, kartun menjadi ajang 'perlawanan simbolik' media pada kekuasaan. Jika kritik lewat pemberitaan dianggap kelewat riskan, maka kartun yang bicara. Tahu sendirilah, dunia jurnalistik pada masa itu mengenal istilah 5W 1H dan 1S. S terakhir adalah security. Hahahaha...

Pada tahun 1993, saya dengan sejumlah kawan (mahasiswa dan kartunis Surabaya), menggelar pameran karikatur dengan label 'Bikin Senyum Tanpa Niat Menghimpit'. Responnya, cukup bagus. Beberapa insan media, mahasiswa, dan aktifis lokal datang untuk ikut menebar senyum. Ada yang nyeletuk, "Wah, ini kartun serem".

Bisa dibayangkan. Tema kartun yang ada dalam pameran bertabur kritik buat militer, kebijakan beberapa mentri, dan perilaku anggota dewan perwakilan rakyat yang kadang jauh dari kesan terhormat. Tapi karena ini kartun, semua bisa tertawa. Sedikit perih, sedikit bikin telinga merah, tapi masih bisa tertawa.

Setahun kemudian, pameran serupa juga kami gelar. Dan lagi-lagi, respons-nya cukup membanggakan. Selain ada tambahan darah-darah baru (kartunis kampus), topik yang ditawarkan juga makin menarik. Sayang, dokumentasi kartun-kartun yang ada sudah hancur, hilang entah kemana (kadang saya berpikir, seandainya masih ada, pasti bisa jadi kajian yang cukup menarik). Apalagi di pameran kedua itu, kami bisa mengajak dua kartunis Surabaya yang namanya sudah jadi legenda ; Pe'i (Surabaya Post) dan Leak Koestiya.

Di pentas media nasional, keberadaan kartun juga bergerak luar biasa. Kecerdikan sejumlah kartunis senior, seperti GM Sidarta, Pramono, atau Dwi Koendoro, layak jadi kiblat jagad kartun di masa paceklik kebebasan. Mereka tetap bisa tajam menancapkan kritik, tapi tetap berkesan 'aman dan terntram'.

Ya, itulah potret kartun di masa pemerintahan Soeharto. Benar-benar jadi ikon perlawanan simbolik. Lalu ketika kran keterbukaan mulai terbuka, kartun makin keras dalam berteriak. Saya jadi ingat kata salah satu teman, dulu, di masa orde baru, jika ada satu yang teriak, suaranya akan terdengar nyaring. Sekarang, semua berteriak kencang, maka yang ada hanya distorsi dan disharmoni. Hmm, tiap ingat hal ini, saya selalu ingin tertawa.

Hendro D. Laksono

2 komentar:

Anonymous said...

dro, penataan artistik bloggermu bikin sakit mataku. warna biru ke abu-abuan, dan hijau itu bikin teks tak terbaca. apa memang maksudmu begitu, kayak kita terkutuk untuk tak bisa membaca teks itu.

dk

jagung manis said...

thanks imputnya boss. namanya juga lagi belajar