Malam itu Gerimis Datang Perlahan

Sunday, January 09, 2011

Kopi Cak Minto ini sebenarnya biasa saja. Warnanya hitam, kelam, berasa layaknya kopi. Tersaji panas dengan cangkir dan lepek. “Saya mau saja jualan kopi yang warnanya oranye. Tapi nanti banyak yang protes. Kopi kok kayak wedang jeruk,” kata Cak Minto suatu saat.

Tapi tidak tau mengapa, Yanus sangat suka kopi Cak Minto. Pada istrinya ia pernah berkata, “Sehari ndak minum kopi Cak Minto rasanya ada yang kurang. Seperti lautan tanpa garam. Seperti langit tak berwarna biru. Hambar. Tanpa harapan”.


“Sampeyan iku lebay,” kata istri Yanus.
“Walah. Lebay itu apa? Bahasamu kok aneh-aneh se?”

Tentu Yanus tak sungguh-sungguh ingin menggugat atau marah pada istrinya. Dialog kecil saja. Biar tambah mesra.

Dan malam itu, Yanus sudah nongkrong di warung Cak Minto. Dalam hatinya, ada sesuatu yang ingin ia rayakan. Pagi tadi ia baru saja menuntaskan pajak ini-itu. Pajak ini-itu tidak ada di hukum perpajakan. Sebutannya bermacam-macam. Hanya saja, Yanus enggan menghapal satu persatu. Terlalu complicated.

Lagi pula, sebagai warga yang tidak ikut bertempur di jaman merebut kemerdekaan, Yanus paham diri. Jika mereka ertempur dengan bambu runcing dan golok, kini saatnya berjuang dengan membayar pajak. Turut terlibat membangun negara.

Bagi sebagian besar orang, pajak hanya obyek yang layak dicibir. Hampir sama dengan aksi Julia Perez yang nekad mau melenggang jadi bupati. Tapi bagi Yanus, pajak adalah keharusan. Rakyat butuh jaminan sebuah kesetaraan. Dengan membayar pajak, rakyat punya alasan untuk berteriak lantang jika ada parat negara ngising sembarangan. Maksudnya, melakukan hal menjijikkan dan memalukan di tempat yang tidak semestinya.

Walau suatu saat juga, Yanus pernah bertanya pada teman satu SMP-nya yang kini jadi dosen terbang di sebuah perguruan tinggi biasa saja. “Negara kita kan kaya raya. Mengapa pemerintah masih perlu bayar pajak untuk membantu lancarnya proses pembangunan?” tanya Yanus.

Kata kawannya yang dosen itu, “Pajak kan fresh money. Kalau kayu jati dan minyak bumi kan butuh proses agar jadi fresh money”.

“Tapi minyak bumi dan kayu jati nantinya kan jadi fresh money juga?”
“Anggap saja begini kang. Dalam proses menjadi fresh money itu, ada proses yang panjang dan berbelit. Puanjaaaaang, berbelok-belok, ada jalan yang sempit, ada jalan yang lebar. Kadang ada tanjakan curam, kadang landai. Kadang berkabut, kadang gelap gulita. Nah paham?”

“Enggak,” kata Yanus sambil garuk-garuk. Tapi Yanus diam dan menyerah. “Intinya, pajak memang keharusan?” tanyanya pada si dosen yang kalau di lihat dari samping mirip Dono Warkop ini.

“Iya, wajib”.
“Berarti sampeyan juga bayar pajak?”
“Nah, disitu masalahnya. Saya ndak punya NPWP. Nek sampean kan punya. Jadi saya wajib bayar pajak tapi gak wajib bayar pajak. Dan itu berbeda sama sekali”

Yanus lagi-lagi diam dan menyerah. “Jika ada yang bilang kalau hidup ini kadang sarat dengan hal tidak penting, maka dialog dengan dosen semprul ini salah satnya,” kenang Yanus sambil menyruput kopinya. Biarlah, tiap orang punya persepsi sendiri. Bukankah berpersepsi adalah indikasi bahwa dia masih punya kemerdekaan?

“Lagi seneng ta Kang?” tanya Cak Minto sambil menata pisang goreng hangat, mendekat ke arah Yanus. Jiangkrik. Baunya lansung menyengat. Mak sreeeng…

“Iya Cak. Seneng. Lega karena sudah gak punya beban. Kemarin-kemarin sampai minum CTM biar bisa tidur. Sekarang sudah aman. Soal pajak,” kata Yanus bangga. Diam-diam ia berharap, Cak Minto akan bertanya ‘berapa pajake sampaeyan?’. Ternyata tidak. Lagi-lagi Cak Minto menggeser tempe mbenjes-nya ke depan Yanus. Tanpa cabe?

“Lha lombok-nya mana Cak?”
“Ada Kang. Tapi belinya terpisah. Tempe tiga bonus lombok satu. Kalau beli tempe lima bonus lombok dua,” kata Cak Minto sambil ndrenges. Biyuh, menyebalkan sekali tampangnya.

“Omong-omong, sampeyan ndak nyambangi Bu Mimin ta? Anake mati kena dipteri,” kata Cak Minto. Kali ini sambil menggeser piring berisi tahu goreng.

“Kasihan Bu Mimin, Kang. Kapanhari kepontang-panting lari ke sana ke sini cari utangan buat biaya pengobatan anaknya. Ya pas jaman gini, semua sibuk beli buku buat anak-anaknya, gak ada yang mau kasih utangan. Bu Mimin lari ke Wak Jupri, rentenir,” kata Cak Minto.

Yanus yang mulai menimati tempe mbenjes tanpa cabe mendadak kepedesan dalam hati. Apalagi saat Cak Minto kembali bercerita, “Jadi Bu Mimin apese dobel-dobel, Kang. Anaknya mati. Ke dua ya kejepit rentenir. Lha wong Wak Jupri. Siapapun tau siapa dia. Hatinya terbuat dari watu item”.

Hati Yanus meriang. Keringat dingin mengalir kencang. Mengapa tiba-tiba merasa bersalah?

“Padahal Bu Mimin gak butuh banyak, Kang. Paling cuman Rp 700 ribu-an. Tapi ya gimana. Tetangga-tetangganya ya orang miskin. Pak Juhari yang dulu pernah diisukan pacaran sama Bu Mimin juga habis-habisan buat ngasih makan empat anaknya. Neng Hanik yang buka salon juga mendadak kere gara-gara nebus suaminya yang kena garuk pas jualan narkoba”.

Yanus merintih. Benar-benar merintih? Rp 700 ribu? Itu angka yang jauh lebih kecil ketimbang pajak yang baru ia bayarkan. Astaga…

“Untung orang-orang kampung ada yang berani melabrak Wak Jupri. Jadi bunga pinjaman Bu Mimin gak sampai tinggi. Tapi ya tetep berbunga. Katanya, bank saja ada bunganya. Masa dia tidak.

Yanus buru-buru berdiri. Membayar kopinya yang masih berkurang seperempat gelas, lalu mancal motor dan berlalu. “Duh gusti. Mengapa kebahagiaan ini harus tercemari?”

Yanus membelah malam. Gerimis datang perlahan, membuat tubuh dan hatinya makin menggigil. Ada yang menggelepar, mengais-ngais ingin keluar dari jantungnya. Ia tak tahu harus berada di sisi mana. Hidup yang sungguh keji.

Priiiiiiit! Waduh. Yanus menepi. “Selamat malam, pak. Bisa lihat SIM dan STNK?”

Yanus baru sadar kalau dompetnya tertinggal di toko gara-gara pingin segera pulang tadi sore. “Ketinggalan, pak?”

Lalu si polisi mulai mengeluarkan surat tlang dan memberi nasehat-nasehat sempurna. Tentang tata tertib berlalu lintas, perlunya disiplin diri agar bisa melindungi diri sendiri dan orang lain, dan entah apa lagi. Yanus yang sedang gamang tak mampu mendengar. Yang pasti, saat si polisi menyebut besaran angka yang layak jadi alternatif kesepakatan ketimbang pergi ke pengadilan, dan kebetulan di saku Yanus ada beberapa lembar ribuan, maka malam kelu-pun berlalu.

Polisi itu pergi, Yanus malah memilih untuk menepi. Ndepipis di pinggir jalan, menyalakan samsu, dan menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba merangkai peristiwa-peristiwa yang baru saja dialami. Layaknya puzzle ekstra rumit, atau berlari-lari kecil mengejar suara di tengah labirin.

Hidup, apakah ia memiliki hasrat untuk bersahabat? Ataukah ia mulai memilih, pada siapa kan bersahabat? Pertanyaan sulit. Pertanyaan yang sangat sulit. Yanus memilih untuk menyerah dan berbisik lirih, “Oo… ancene asuu…”


Surabaya, 7 Januari 2011 | Hendro D. Laksono